Kota Berketahanan Iklim
yang Inklusif

Select your language

Proyek yang didanai Uni Eropa dan diimplementasikan oleh UCLG ASPAC, Pilot4DEV, ACR+, ECOLISE, AIILSG, dan Universitas Gustave Eiffel

Dengan rata-rata pertumbuhan perkotaan sebesar 4,4% per tahun, Indonesia mengalami laju urbanisasi tertinggi di Asia (lebih tinggi daripada India dan Cina). Sekitar 68% populasi Indonesia akan menghuni perkotaan dalam sepuluh tahun ke depan. Kepadatan populasi di kota-kota seperti Jakarta telah melebihi angka 15.000 penghuni/km² dengan lebih dari 30.000 penghuni/km² di beberapa area dalam kota. Pada kenyataannya, kota sangatlah rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, kota juga dapat menjadi ujung tombak dalam mengatasi masalah ini. Kota Jakarta, misalnya, semakin terbenam di bawah permukaan laut dan diperkirakan dapat sepenuhnya tenggelam pada tahun 2050. Negara-negara seperti Vietnam (36% dari populasi perkotaan) dan Filipina (45%) memiliki populasi yang terkonsentrasi di area perkotaan besar, dengan pusat-pusat pertumbuhan yang pesat. Wilayah perkotaan menampung sebagian besar populasi yang rentan, serta infrastruktur vital dan sosial, dan pemerintah daerah telah meningkatkan fokus untuk mengembangkan layanan, infrastruktur, serta lapangan kerja (UN Habitat).

Tujuan keseluruhan dari proyek ini adalah untuk menciptakan kerja sama jangka panjang yang unik antara kota-kota dan pusat-pusat penelitian di Eropa, Indonesia dan negara-negara lain dalam lingkup Asia Tenggara, dan untuk memberikan kontribusi substansial untuk pembangunan perkotaan terpadu yang berkelanjutan, tata kelola yang baik, dan adaptasi/mitigasi iklim melalui kemitraan jangka panjang, serta sarana seperti rencana aksi lokal yang berkelanjutan, alat peringatan dini dan panel ahli.

Tujuan spesifiknya adalah:

  • Untuk memperkuat tata kelola yang baik: Dukungan berkelanjutan bagi tata kelola yang baik, serta kerangka kebijakan dan hukum yang penting untuk menerapkan kebijakan perkotaan.

  • Penggunaan sumber daya yang berkelanjutan oleh kota: Mitigasi dan adaptasi iklim dapat dicapai dengan pemahaman yang mendalam tentang sumber daya lokal, serta pemberdayaan masyarakat.

  • Kohesi sosial dan kota inklusif: Proyek ini akan memberikan perhatian khusus pada masalah pemukiman informal, migran pedesaan dan marginalisasi.

  • Ketahanan dan aksi untuk lingkungan: Proyek ini akan mendukung transisi menuju sistem produksi dan konsumsi yang lebih efisien sumber daya. Proyek ini juga akan mengembangkan sistem peringatan dini untuk kota-kota terpilih serta analisis sumber polusi utama di kota tersebut.

  • Kesejahteraan dan inovasi di kota-kota: Menangani masalah melalui inovasi yang menggabungkan budaya dan desain lokal, didukung dengan identifikasi mekanisme pendanaan yang berkelanjutan.

  • Promosi kerja sama segitiga: Akan dikembangkan melalui pertukaran ilmu dan pelatihan bersama antara negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara (Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, India, dan Nepal).


Ratusan juta orang di daerah perkotaan yang lebih miskin tinggal di lokasi terpusat yang kondisinya tidak memadai untuk hidup, ditambah lagi dengan ketiadaan infrastruktur dasar (seperti air dan sanitasi). Masalah akan semakin memburuk ketika wilayah yang paling rentan ini terdampak oleh kenaikan permukaan air laut, banjir, tanah longsor, puncak dari polusi udara beracun, topan, badai, ataupun peningkatan temperatur bumi serta musim kemarau ekstrem akibat perubahan iklim. Kota dan pemerintah daerah dianggap sebagai aktor kunci dalam menghadapi tantangan iklim dan SDGs. United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC), sebagai asosiasi dari berbagai pemerintah daerah, memiliki peran besar dalam mengelola dan menghubungkan pengetahuan yang berhubungan dengan isu-isu yang dihadapi pemerintah daerah di wilayah Asia Pasifik. UCLG ASPAC memiliki sumber kepemimpinan kuat dengan kerangka kerja efektif dan kombinasi tindakan-tindakan yang tepat guna untuk mencapai perubahan yang diinginkan.

Melihat adanya urgensi masalah ketahanan iklim, UCLG ASPAC memprakarsai Proyek Kota Berketahanan Iklim dan Inklusif (CRIC). CRIC adalah proyek lima (5) tahun dengan tujuan untuk membina kerja sama jangka panjang yang unik melalui kerja sama segitiga antara kota dan pusat penelitian di Eropa, Asia Selatan (India, Nepal, Bangladesh), dan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand). Proyek ini juga akan berkontribusi pada pembangunan perkotaan terpadu yang berkelanjutan, tata kelola yang baik, dan adaptasi/mitigasi iklim melalui kemitraan jangka panjang, serta sarana seperti rencana aksi lokal yang berkelanjutan, alat peringatan dini, kualitas udara, dan pengelolaan limbah melalui konsultasi dengan panel para ahli.

Kelompok sasaran proyek ini adalah pemerintah daerah, kota, dan pemangku kepentingan perkotaan yang terlibat dalam isu ketahanan iklim, mitigasi dan adaptasi iklim, serta tata kelola yang baik dalam kota inklusif, yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi komunitas lokal di kota/provinsi, termasuk kelompok perempuan, sektor marginal, masyarakat sipil, sektor swasta dan lain-lain.

Proyek ini terdiri atas 3 Pilar yang merepresentasikan hasil-hasil yang ingin dicapai dari berbagai aktivitas dalam proyek, yaitu:

Pilar 1: Produksi dan Pertukaran Pengetahuan

  1. Produksi pengetahuan dan analisis perkotaan
  2. Laporan kota
  3. Sarana yang semakin diperkuat disertai dengan pertukaran informasi antara kota-kota di Eropa, Indonesia dan kawasan Asia lainnya

Pilar 2: Rencana Aksi Lokal untuk Kota yang Berketahanan Iklim dan Inklusif

  1. Kapasitas kota dan pemerintah daerah yang semakin diperkuat dalam mendesain dan menerapkan kebijakan publik yang inklusif;
  2. Peningkatan kualitas, pengadaan, dan akses layanan dan infrastruktur dasar yang merata;
  3. Peningkatan kapasitas kota dan pemerintah daerah dalam mengelola limbah perkotaan dan polusi udara, mendorong pembangunan perkotaan hijau yang rendah karbon dan tangguh iklim serta mendukung perkembangan ekonomi sirkular di kota;
  4. Peningkatan kapasitas kota, desa dan pemerintah daerah dalam mengelola risiko bencana (aneka-bahaya), mendukung layanan yang responsif dan infrastruktur yang tahan terhadap goncangan.

Pilar 3: Komunikasi dan Pengembangan Kapasitas

  1. Peningkatan kapasitas kelembagaan, keuangan dan administrasi kota dan pemerintah daerah;
  2. Konsolidasi mekanisme untuk konsultasi, koordinasi dan kerja sama antar sektor publik, swasta, masyarakat sipil dan pemangku kepentingan terkait lainnya dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pembangunan perkotaan;
  3. Peningkatan kapasitas kota dan pemerintah daerah dalam menggunakan teknologi pintar,
  4. Peningkatan kemitraan dan skema kerja sama publik-swasta bagi ekonomi lokal.

 

CRIC
Kerjasama unik antara kota, pejabat, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi menuju kota yang tangguh dan inklusif.

Didanai oleh UE

CRIC
Proyek ini didanai oleh Uni Eropa

Kontak

Hizbullah Arief
hizbullah.arief@uclg-aspac.org

Pascaline Gaborit 
pascaline@pilot4dev.com